Namun, ulama itu dengan tenang menjawab, “Aku pun sudah mewajibkan atas diriku untuk tidak mau menerima jabatan.”
Sayidina Umar lalu memperingatkan, “Kalau demikian, engkau telah bermaksiat dengan menentangku.”
Ulama tersebut tidak kehilangan ketenangan. Ia membalas dengan membaca sebuah ayat yang begitu mendalam maknanya:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami hendak memberikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Kemudian ulama itu bertanya, “Apakah dengan itu berarti mereka telah bermaksiat dengan membangkang perintah Allah, wahai Amirul Mukminin?”
Mendengar jawaban tersebut, Umar bin Abdul Aziz tersenyum. Ia akhirnya tidak melanjutkan desakannya dan membiarkan ulama itu pergi.
Pelajaran Penting dari Kisah Ini
Kisah ini bukan hanya sebuah dialog yang menarik, tetapi juga mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan dengan kehidupan kita, terutama dalam hal kepemimpinan, tanggung jawab, dan amanah.
1. Amanah adalah Beban yang Berat
Ayat yang dikutip oleh sang ulama dalam kisah ini memberikan pesan mendalam bahwa amanah bukanlah perkara ringan. Bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung yang begitu besar sekalipun menolak untuk memikulnya karena takut tidak mampu menunaikannya. Sebaliknya, manusia, dengan segala keterbatasannya, sering kali mengambil amanah tanpa menyadari tanggung jawab besar yang melekat padanya. Hal ini menjadi peringatan bagi kita agar berhati-hati dalam menerima amanah.
2. Pemimpin yang Bijaksana
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah contoh teladan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Meskipun memiliki otoritas, ia tetap mendengarkan argumen yang disampaikan oleh ulama tersebut. Ketika argumen itu didasarkan pada dalil yang kuat, Umar tidak memaksakan kehendaknya. Sikap ini menunjukkan kelapangan hati seorang pemimpin sejati.
3. Mengutamakan Prinsip dan Takwa
Sang ulama dalam kisah ini menolak jabatan meskipun ditawarkan langsung oleh khalifah. Sikap ini menunjukkan bahwa ia lebih mementingkan prinsip dan tanggung jawab di hadapan Allah daripada ambisi duniawi. Ia sadar betul akan konsekuensi besar jika amanah tidak ditunaikan dengan baik.
4. Dialog yang Santun dan Berlandaskan Ilmu
Dialog antara Umar dan ulama tersebut adalah contoh bagaimana perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan argumen yang santun dan berlandaskan ilmu. Umar tidak memandang argumen ulama itu sebagai bentuk pembangkangan, tetapi sebagai wujud ketakwaan dan kehati-hatian. Pada akhirnya, keduanya menunjukkan sikap saling menghormati.
Relevansi untuk Kehidupan Saat Ini
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa jabatan atau amanah bukan sekadar kehormatan, tetapi ujian yang memerlukan kesiapan fisik, mental, dan spiritual. Sebelum menerima tanggung jawab besar, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita mampu menunaikannya dengan sebaik-baiknya? Jangan sampai ambisi duniawi membuat kita melupakan tanggung jawab akhirat.
Di sisi lain, sebagai pemimpin, kita juga harus belajar dari Umar bin Abdul Aziz yang menunjukkan sikap rendah hati, mau mendengarkan, dan tidak memaksakan kehendak. Kepemimpinan yang adil dan bijaksana seperti inilah yang dibutuhkan oleh umat.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu berhati-hati dalam menerima amanah dan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT