Di Indonesia, keberagaman aliran dalam Islam adalah hal yang umum. Dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki sejarah panjang dalam membentuk perkembangan sosial dan budaya umat Muslim di negeri ini. Keduanya memiliki peran penting dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, ketika seseorang menjadi bagian dari minoritas Muhammadiyah di tengah mayoritas NU, terutama di desa, sering kali muncul tantangan-tantangan tersendiri yang harus dihadapi.
Di banyak desa di Indonesia, NU sering kali memiliki pengaruh yang kuat. Ini terutama karena NU memiliki pendekatan tradisional dan kultural yang lebih dekat dengan kehidupan pedesaan, seperti pengajian umum di masjid, tahlilan, ziarah kubur, dan perayaan-perayaan hari besar Islam yang dibalut dengan tradisi lokal. Sebagai seorang Muhammadiyah yang berada di desa mayoritas NU, sering kali terasa seperti berada di antara dua dunia yang berbeda.
Muhammadiyah, yang cenderung mengedepankan pemurnian ajaran Islam dan memiliki pandangan yang lebih modern dan rasional terhadap agama, sering kali dianggap berbeda oleh masyarakat NU di desa. Misalnya, Muhammadiyah tidak mengamalkan tradisi tahlilan atau ziarah kubur sebagaimana yang dilakukan NU. Bagi masyarakat NU, perbedaan ini kadang dianggap sebagai kurangnya penghormatan terhadap tradisi leluhur dan kearifan lokal.
Tantangan yang Dihadapi
Perbedaan Praktik Ibadah dan Tradisi:
Perbedaan cara beribadah dan tradisi antara Muhammadiyah dan NU sering kali menjadi sumber perbedaan di masyarakat. Ketika ada acara keagamaan seperti tahlilan, kenduri, atau perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh warga NU, warga Muhammadiyah di desa tersebut sering kali merasa canggung karena keyakinan mereka berbeda. Mereka harus memilih antara berpartisipasi untuk menjaga kerukunan sosial atau tetap teguh pada prinsip-prinsip Muhammadiyah yang mereka anut.
Kesalahpahaman dan Stereotip:
Kesalahpahaman tentang ajaran Muhammadiyah bisa menyebabkan stereotip dan prasangka di kalangan masyarakat NU. Ada yang menganggap bahwa Muhammadiyah tidak menghormati ulama, atau kurang menghargai tradisi, padahal yang terjadi sebenarnya adalah perbedaan pandangan dalam cara menjalankan agama. Hal ini bisa membuat warga Muhammadiyah merasa tidak nyaman dan terkucil.
Keterbatasan Akses terhadap Kegiatan Keagamaan:
Di desa yang mayoritas NU, kegiatan-kegiatan keagamaan sering kali diadakan berdasarkan tradisi dan pandangan NU. Ini bisa membuat warga Muhammadiyah merasa kurang mendapatkan tempat untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Misalnya, pengajian atau ceramah agama yang diadakan mungkin lebih sesuai dengan pandangan NU daripada Muhammadiyah.
Isolasi Sosial:
Merasa berbeda bisa menyebabkan perasaan terisolasi atau terpinggirkan. Meskipun tidak selalu terjadi konflik terbuka, perbedaan ini bisa menyebabkan ketidaknyamanan dalam hubungan sosial sehari-hari, seperti saat berkumpul di acara keluarga, pertemuan desa, atau kegiatan sosial lainnya.
Menghadapi Tantangan sebagai Minoritas
Memperkuat Pemahaman dan Toleransi:
Sebagai warga Muhammadiyah di tengah mayoritas NU, penting untuk terus belajar dan memperkuat pemahaman tentang ajaran Islam dan perbedaan pandangan yang ada. Dengan memahami alasan di balik perbedaan, baik dari sisi Muhammadiyah maupun NU, akan lebih mudah untuk mengembangkan sikap toleransi dan saling menghargai.
Berkomunikasi dengan Baik:
Membangun komunikasi yang baik dengan warga NU di desa sangat penting. Diskusi yang terbuka dan jujur tentang perbedaan keyakinan dan praktik ibadah dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan stereotip. Menggunakan pendekatan yang bijak dan penuh hormat akan membantu dalam menciptakan suasana yang lebih harmonis.
Menjaga Kerukunan Sosial:
Menjaga kerukunan dan persatuan adalah hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di desa. Meskipun ada perbedaan dalam beribadah, banyak nilai-nilai yang bisa dipegang bersama, seperti gotong royong, saling membantu, dan menjaga ketertiban desa. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan gotong royong dapat menunjukkan bahwa meskipun berbeda, warga Muhammadiyah tetap berkomitmen untuk menjadi bagian dari masyarakat yang damai dan harmonis.
Mengadakan Kegiatan Keagamaan Sendiri:
Untuk menjaga semangat dan kekuatan komunitas, warga Muhammadiyah di desa bisa mengadakan kegiatan keagamaan sendiri yang sesuai dengan ajaran mereka. Ini bisa berupa pengajian, ceramah, atau kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, mereka bisa tetap menjalankan ibadah sesuai keyakinan tanpa harus merasa tersisih.
Bekerja Sama dalam Kebaikan:
Dalam banyak hal, Muhammadiyah dan NU sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu membangun masyarakat yang lebih baik, lebih berpendidikan, dan lebih berakhlak. Bekerja sama dalam program-program sosial, seperti pendidikan, kesehatan, atau lingkungan, bisa menjadi cara yang baik untuk menunjukkan bahwa perbedaan dalam keyakinan tidak menghalangi kebersamaan dalam kebaikan.
Menjadi minoritas Muhammadiyah di tengah mayoritas NU, terutama di desa, memang bukan tanpa tantangan. Namun, perbedaan ini bukanlah penghalang untuk menciptakan keharmonisan dan kerukunan. Melalui pemahaman, komunikasi, dan kerja sama, warga Muhammadiyah dan NU dapat hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai. Pada akhirnya, perbedaan ini adalah bagian dari kekayaan budaya dan spiritual yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan sikap yang bijak dan terbuka, perbedaan ini dapat menjadi sumber kekuatan, bukan kelemahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT