Template ini gratis jika anda ingin mendapatkannya unduh disini Download Now!

Berkembangnya Pluralisme dan Sekulerisme Sebagai Panutan Nasionalisme

Adu argumentasi politik non-kooperasi antara Soekarno dengan Hatta meningkat sengit,
Harap tunggu0 detik...
Gulir ke bawah dan klik Buka Tautan untuk tujuan
Selamat! Tautan Dihasilkan


Berkembangnya Pluralisme dan Sekulerisme Sebagai Panutan Nasionalisme

Ir Soekarno merasa prihatin atas terjadinya kemelut di kalangan partai-partai nasionalis pada 1920’an. Dalam tulisannya di media Suluh Indonesia Muda terbitan 1926 yang berjudul: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Soekarno mengumandangkan pentingnya persatuan bagi terciptanya kemerdekaan Indonesia.

Kelompok studinya pada 4 Juli 1927 mendirikan partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia. Baru pada bulan Mei 1928 partai ini resmi menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan tujuan Kemerdekaan Indonesia. Untuk menyatukannya harus dilakukan dengan pengembangan pluralisme dan sekularisme.

Istilah pluralisme mulai berkembang dikalangan pelajar-pelajar Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan keyakinan untuk disatukan dalam kerangka nasionalisme ang dilandasi oleh solidaritas kebersamaan.

Para filosof dunia seperti Isaiah Berlin, Stuart Hampshire dan Bernard Williams yang merintis pengadaan pluralisme dalam formasi demokrasi-sosial modern, dan dilengkapi dengan menggabungkan pandangan-pandangan dari Harold Laski dan GDH Cole, serta juga pemuka Fabian Society Inggris, Horace Kallen dalam mewujudkan budaya pluarlisme guna mewujudkan suatu bangsa yang demokratis, tetapi tidak menghilangkan nilai-nilai budaya tradisional dari masing-masing suku-bangsa yang menyatukan diri sebagai satu bangsa yang merdeka.

Kesuksen dalam menfungsikan pluralisme harus dilandasi oleh musyawarah bersama melalui consensus saling membagi nilai-nilai kebersaman diantara kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda latar belakang menjadi satu bangsa, dan sama-sama memelihara kehidupan harmonis dan berdampingan satu sama lainnya.

Nilai yang paling berharga dalam pluralisme adalah saling menghormati dan bersikap toleran, supaya terpelihara ko-eksistensi dan interaksi dari masing-masing suku-bangsa, tanpa ada pemaksaan dari siapapun untuk mendominasi dan melakukan asimilasi secara sepihak dalam usaha meraih kepentingan dan memperoleh posisi bagi kepentingan sepihak. Untuk mencegah konflik hanya dapat diatasi melalui dialog untuk memperoleh kesepakatan kompromi dan saling pengertian.

Pengertian sekularisme juga dikembangkan oleh PNI yang memberi kebebasan beragama bagi siapapun, dan posisi agama sangat netral dan tidak dapat mencampuri urusan pemerintahan dalam bentuk apapun. Tepatnya, agama harus terpisah dari pemerintah.

Konsep sekularisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Yunani dan Romawi seperti Marcus Aurelius dan Epicurus, dan juga ahli mathematika Arab, Ibnu Rushd iyang hidup di abad pertengahan. Kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf lainnya seperti Denis Diderot, Francois Voltaire, John Locke, dan para founding-fathers AS, James Madison, Thomas Jefferson dan Thomas Paine dan pemikir-pemikir bebas (free-thinkers) dan atheis, seperti Bertrasnd Russel dan Robert Ingersoll. Istilah sekularisme untuk pertama kali digunakan oleh penulis Inggris, George Holyoake pada 1851. Sekalipun istilah ini masih baru, tetapi pemikiran bebas (freethought) juga tumbuh melalui perjalanan sejarah yang dirintis oleh Ibnu Rusdi (Averroes) dan sekolah filosofi Aveoisme.

Hal ini terungkap pada buku Abdel Wahab El Messeri: Episode 21: Ibn Rush, Everything you wanted to know about Islam but was afraid to ask (Philisophia Islamica) dan dalam tulisan Fauzi M Najjar: “The debate on Islam and secularism in Egypt,” pada majalah berkala Arab Studies Quarterly (Spring, 1996).

Holyoake menciptakan istilah ini untuk mengungkapkan pandangannya dengan menempatkan masalah sosial harus dipisahkan dari agama, tanpa harus mengkrtik agama itu sendiri sebagai keyakinan seseorang.

“Sekularisme sama sekali bukan untuk memperdebatkan (agama) Kristen, itu adalah suatu istilah yang terlepas dan sama sekali bukan untuk mempertanyakan mengenai masalah kekristenan, tetapi memberi kemajuan pemikiran kepada yang lainnya. Secularisme tidak mengatakan tidak ada terang ataupun panduan dimana-mana, tetpi memberikan panduan pandangan mengenai kebenaran yang bersifat sekuler, dimana siapapun tidak terikat dan bebas dalam pemikirannya sendiri. Sekularisme adalah sebuah pemahaman manifestasi yang terdapat dalam kehidupan kita, yang berkaitan dengan kehidupan kita, yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, dan teruji dari pengalaman hidup,” demikian Holyoake sebagaiman dikutip pada kamus Seclularism, Catholic Encyclopedia.

Dalam kamus politik, sekularisme adalah suatu gerakan yang memisahkan antara agama dengan pemerintah. Hal ini memungkinkan bagi terbentuknya sistem demokrasi suatu bangsa dengan melindungi hak beragama bagi masyarakat minoritas pada bangsa itu.

Antara Macht-Forming Versus Pendidikan Kader Kepemimpinan

Suasana perjuangan politik nasionalisme kebangsaan mengalami kristalisasi di antara pemeran "Founders of the Nation." Kristalisasi diwarnai argumentasi sengit guna memperoleh kesatuan pandangan mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan menghadapi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di penghujung 1920'an. Tidak terkecuali antara Soekarno dengan Mohammad Hatta, yang saling berbeda dalam strategi perjuangan.

Soekarno menekankan gerakan aksi konfrontasi radikal macht-forming -menghimpun semua kekuatan pribumi dalam satu kesatuan- paling efektif untuk memenangkan perjuangan politik kemerdekaan. Menurut Soekarno perjuangan demokrasi harus di landasi kesatuan ideologi dan doktrin secara massaal. Untuk itu Soekarno menghendaki PNI sebagai kesatuan sentral harus seratus persen bersikap radikal. Hal ini di tuangkan Soekarno pada tulisan Mencapai Indonesia Merdeka.

Tetapi Hatta menghendaki keberadaan PNI sebagai sarana pendidikan dan kaderisasi politik mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia.

Pada buku “Kumpulan Karangan” Hatta menekankan bahwa perjuangan politik seharusnya di salurkan melalui jalur parlementer dan bukan radikalisme. Cara radikal konfrontatif sama sekali tidak akan menguntungkan bahkan merugikan perjuangan.
Mengenai pengembangan pemahaman demokrasi, Hatta khawatir istilah "kerakyatan" hanya "lips service" belaka, tetapi tidak nyata. Sedang pemakaian istilah demokrasi hanya sebagai "penyedap" untuk meraih daya tarik masyarakat luas. Tetapi tidak menjamin tanggung jawab terhadap proses demokrasi sebenarnya. Hatta berpendapat yang di perlukan adalah mendidik arti dari demokrasi sesungguhnya. "Kita memang geram terhadap tanggapan negatif pemerintah kolonial yang menilai bahwa bangsa Indonesia belum dewasa memperoleh kemerdekaan. Tetapi selama pemuka politik melakukan perluasan pengaruh partai dengan meraih massa, tidak akan menemui sasaran pendidikan demokrasi pola pikir.

Apalagi pemimpin partai sering menjalankan berbagai langkah radikal tanpa berkonsultasi dengan anggota partai. Itulah sebabnya sebaiknya PNI dibubarkan" pendapat Hatta.

Adu argumentasi politik non-kooperasi antara Soekarno dengan Hatta meningkat sengit, ketika Hatta mengusulkan agar perjuangan politik kemerdekaan dilakukan melalui forum Parlemen Belanda, tetapi ditentang Soekarno karena menilai justeru akan melemahkan gerakan non-kooperasi meningkatkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Gerakan Radikalisme Cara Sin Fein VS Non-Kooperasi Non Kompromistis

Dalam buku kumpulan tulisan Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno menempatkan organisasi Sin Fein, gerakan perjuangan Irlandia Utara sebagai model perjuangan radikal konfrontatif membebaskan diri dari belenggu sentralistik Inggris.

Cara radikal non-kooperasi Sin Fein dilakukan dengan slogan "We Ourselves". Kelompok ini tidak berkompromi dengan Inggris dan menolak berunding pada forum Westminster (Parlemen Inggris). Doktrin “We Ourselves” ingin mewujudkan “gaya Westminster” cara Irlandia. Soekarno menilai kelompok Sin Fein tidak anarkhis, tetapi tetap kokoh mempertahankan prinsip. Cara Sin Fein harus di ikuti untuk menempatkan prinsip politik non-kooperasi dengan teguh.

Soekarno menolak kursi Volksraad, Parlemen Belanda dan Liga Bangsa-Bangsa demi politik non-kooperasi yang non-kompromistis memperjuangkan kemerdekaan demi kebebasan “si Marhaen.” Tetapi Hatta bereaksi dan berpendapat bahwa gerakan perjuangan Sin Fein jangan disamakan dengan motivasi politik non-kooperasi.

Motivasi "We Our Selves" merupakan senjata "real-politik" oleh wakil-wakil Irlandia Utara karena sering disudutkan pada posisi minoritas di parlemen Inggris. Hatta mengecam Soekarno karena menempatkan non-kooperasi sebagai dogma yang menjurus pada pengkultusan kepemimpinan tunggal. Menurut Hatta, gerakan non-kooperasi merupakan senjata politik di landasi oleh pemikiran rasio dan logika. Jangan melibatkan gerakan politik dengan menampilkan epik "Perwayangan" yang hanya untuk meraih dukungan simpati masyarakat luas. Walaupun politik di pengaruhi pembawaan budaya, tetapi gerakan non-kooperasi tidak dapat di kaitkan pada pola budaya “Marhaen” yang masih didominasi oleh alam pemikiran budaya tua dilandasi alam pemikiran "Nirwana."

PPPKI Yang Tidak Berkembang

Beberapa bulan setelah tanah Jawa tenteram dari pemberontakan barisan komunisme, konsolidasi barisan nasionalis di tingkatkan. Pada bulan April 1927‚ berkumpul Ir Soekarno, Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr Boediarto‚ dan Mr Soenario. Pertemuan itu menghasilkan ide pembentukan partai nasional politik sekuler. Mulanya disebut Perserikatan Nasional Indonesia‚ yang kemudian menjadi cikal Partai Nasional Indonesia‚ di Bandung pada 4 Juli 1927.

Soekarno tetap menghendaki agar PNI menjadi kekuatan masaal dalam meningkatkan gerakan non-kooperasi yang terdiri dari aksi massaal dibawah naungan kesatuan organisasi. Sedangkan para pendiri lainnya menghendaki agar PNI memprioritaskan pendidikan politik dan tidak mengutamakan kuantitas tetapi kualitas anggota. Soekarno tidak puas dengan pengadaan PNI, hinnga terjadi beda pandang antara kehendaknya yang menitik beratkan pada “macht-forming,” sedangkan yang lainnya tetap menginginkan perjuangan “parlementer,” dan pengembangan “kader-forming” dalam memproduksi pemimpin-pemimpin masa datang.

Pada 17 Desember 1927 berlangsung kongres organisasi-organisasi pribumi yang di dukung 7 organisasi. Masing-masing adalah PNI, Boedi Oetomo, Serikat Islam, Pasundan, Soematranen Bond, Kaum Betawi dan Studie Club Indonesia pimpinan Dr. Soetomo. Sebelumnya di bulan Agustus 1927, di bentuk Komite Persatuan Indonesia bertugas menyusun formulasi dan mematengkan konsep sekularisme nasional. Komite ini di bentuk mencegah timbulnya kecurigaan unsur sektarianisme yang membagi masyarakat menjadi mayoritas dan minoritas. Untuk itu dibentuk komite yang di koordinasi oleh Mr Sartono, bekas Sekretaris Perhimpunan Pelajar Indonesia‚ cabang 's-Gravenhage. Komite ini pertama kali berkongres di Bandung pada 17-18 Desember 1927‚ dihadiri Ir Soekarno dan Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo (PNI), dr Soekiman Wirjosendjojo dan Syahboedin Latief (SI), RMAA Koesoemo Oetojo dan Soetopo Wonobojo (Boedi Oetomo)‚ Oto Soebrata, Bakrie Soerjaatmaja dan Soetiman Sendjaja (Pasoendan), Parada Harahap dan Dahlan Abdullah (Jong Soemateranen Bond), Mohammad Hoesni Thamrin (Kaum Betawi), R M Hario Soejono, RPS Gondokoesoemo dan Soenjoto (Indonesiche Studie Club), Mr Sartono, Mr Boediarto dan dr Samsi Sastrowidagdo (Algemene Studie Club Bandoeng).

Hasil kongres itu mencetuskan pembentukan federasi partai-partai politik, PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).

Pada 20 Desember 1927‚ pihak kongres mengeluarkan Manifesto Rakyat Indonesia)‚ meletakkan dasar pemersatuan. Kongres juga membentuk Majelis Pertimbangan,‚ lembaga tertinggi PPPKI diketuai oleh Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo didampingi Sekretaris dijabat dr Samsi Sastrowidagdo.

Soekarno mengumandangkan persatuan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam salah satu kumpulan tulisan pada buku "Dibawah Bendera Revolusi" Soekarno membagi PPPKI dalam dua bagian. Masing-masing “Kaum Sini” yang menumbuhkan kebangkitan kelahiran bangsa Indonesia dari Penghuni asli Hindia-Timur Belanda dengan “Kaum Sana” yang mau membentuk "kekuatan" menurut caranya sendiri.

Pembagian ini terjadi karena tidak semua organisasi pelajar pribumi ingin bergabung pada PPPKI menurut cara Soekarno. Tetapi dengan kekuatan penampilannya sebagai ahli pidato, Soekarno mencetuskan semboyan PPPKI, memperjuangkan "Kebangkitan Kekuatan Rakyat," dan "Front Perjuangan Sawo Mateng."

Usaha Soekarno Mendekati Persatuan Minahasa

Soekarno pernah mendekati Persatuan Minahasa pimpinan Dr Sam Ratu Langie dan dr Roland Tumbelaka agar mau bergabung. Organisasi ini adalah gabungan sipil (eks Roekoen Minahasa) dan prajurit pensiunan KNIL (eks Suara Militer Minahasa) dengan sebutan Persatuan Minahasa yang didirikan pada 16 Agustus 1927 yang dinilai oleh Soekarno sangat potensial dalam memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Usulan Soekarno memasukkan Persatuan Minahasa di lingkungan PPPKI di dukung Mohammad Hoesni Thamrin, pemuka organisasi Kaum Betawi.

Thamrin selain akrab dengan Sam Ratu Langie, juga atas dorongan Ratu Langie hingga Thamrin mendirikan organisasi Kaum Betawi pada 1923 hingga Thamrin memperoleh kursi di Volksraad sebagai wakil masyarakat Betawi.

Namun usaha Soekarno memasukkan Persatoean Minahasa gagal, karena Ratu Langie tidak sependapat dengan cara Soekarno.

Ratu Langie menilai federasi PPPKI terlalu di dominasi partai-partai Islam yang cenderung sektarianistik dan tidak menggambarkan nilai sekularisme pluralistik. Organisasi Persatuan Minahasa berpendapat, bila terjadi musyawarah dalam suatu keputusan akan ditentukan partai-partai agama sebagai mayoritas.

Selain itu, Ratu Langie berpendapat bahwa pengadaan PPPKI hanya di giring oleh egoisme Soekarno saja dalam usaha melakukan gerakan “macht-vorming” massaal secara radikal, dan sama sekali tidak melakukan program pendidikan politik nasionalisme kebangsaan. Untuk itu Ratu Langie selaku pimpinan organisasi menolak menjadi anggota PPPKI.

Penilaian dan sikap Persatoean Minahasa juga di dukung Jong Ambon pimpinan Mr Johanes Latuharhary‚ dan organisasi Timoresch Verbond, pimpinan Cornelis Frans dan menolak bergabung pada PPPKI. Gagasan Soekarno ternyata juga tidak disenangi kalangan Perhimpunan Pelajar Indonesia di negeri Belanda, terutama Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir karena di nilai menyimpang dari sasaran yang mengutamakan proses pendidikan politik dan perjuangan melalui forum parlementer. Tetapi Soekarno tetap menekankan: "Untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia ditentukan oleh kekuatan besar."

Gaya Macht-Forming Soekarno Yang Menyengsarakan

Pembawaan radikal serba konfrontatif yang dibawakan oleh Soekarno sebagai kepala Negara pertama menjadi penguasa tunggal dan menerapkan kepemimpinan paternalistik dan sentralistik dengan kehebatan rhetorika politiknya. Tetapi bukan memakmurkan atau kesejahteran yang di raih bangsa Indonesia. Pandangan ini dikemukakan Des Alwi pada penulis di bulan Juni 2005 lalu.

Menurut Des yang pernah berjuang pada masa revolusi kemerdekaan di Surabaya, 10 November 1945, “Dengan mengandalkan “macht-forming,” Soekarno menjerumuskan bangsa Indonesia untuk selalu bersikap konfrontatif dan bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain, menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang tertutup karena Soekarno menciptakan supremasi ketertutupan, hingga bangsa ini tidak bisa bergaul dengan bangsa-bangsa lain.”

Sementara Abu Bakar Lubis, yang juga pemuka gerakan mahasiswa Jakarta di tahun 1945 mengatakan bahwa “Soekarno mencampur adukan antara politik dengan pengetahuan. Misalnya melarang penggunaan Bahasa Belanda oleh sentimen chauvinisme nasionalistik sempit. Kendati literatur Belanda dapat mengungkapkan isi perut sejarah bangsa. Sikap konfrontatif dengan menjagokan revolusi serba vandalistik dan distruktif telah menghancurkan system tatanan pemerintahan. Konfrontasi dengan menasionalisasi semua perusahaan asing (terutama Belanda) oleh sengketa Irian-Barat (Papua) pada tahun 1957, notabene menghidupkan perekonomian dan tata-niaga bangsa ini secara otonom, hancur semua.

Kesemuanya terjadi akibat komando politik macht-forming warisan Soekarno yang harus dibayar mahal hingga mengalami “loss generation” berkepanjangan. Karena pola “macht-forming” turut mewarnai setiap gerakan politik di Indonesia secara massaal yang menimbulkan ekses vandalisme distruktif dan sama sekali menyimpang dari pendidikan politik” ujar Abu Bakar Lubis. Desa Alwi mengatakan “Sikap konfrontatif yang dilakukan Soekarno menguntungkan Malaysia, Karena dalam alih pemerintahan oleh Malaysia dari Inggris berlaku dalam suasana damai dan sama sekali tidak mengenal “macht-forming” hingga tidak merusak tatanan birokrasi pemerintahan. Lagi pula masa konfrontasi dengan Belanda, dan aksi nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing (baca: Eropa dan AS), hingga semua perusahaan asing eks Indonesia memindahkan modal dan usaha mereka ke Malaysia hingga memakmurkan negeri jiran ini.”

Hingga sekarang, metoda “Macht-vorming” warisan Soekarno masih saja menjadi pegangan kalangan politisi untuk meraih legitimasi kekuasaan. Cara itulah yang merusak nilai-nilai kebersamaan suatu bangsa yang dilandasi oleh harmonisasi kebersamaan dalam lingkungan masyarakat berbudaya majemuk.

Ratulangie mengkritik Soekarn yang berambisi dengan cara macht-forming untuk Memimpin


Posting Komentar

Cookie Consent
Kami menyajikan cookie di situs ini untuk menganalisis lalu lintas, mengingat preferensi Anda, dan mengoptimalkan pengalaman Anda.
Oops!
Sepertinya ada yang salah dengan koneksi internet Anda. Harap sambungkan ke internet dan mulai menjelajah lagi.
AdBlock Detected!
Kami telah mendeteksi bahwa Anda menggunakan plugin pemblokiran iklan di browser Anda.
Pendapatan yang kami peroleh dari iklan digunakan untuk mengelola situs web ini, kami meminta Anda untuk memasukkan situs web kami ke dalam daftar putih di plugin pemblokiran iklan Anda.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.