MAK EROH, SANG PEMAHAT GUNUNG BATU

Harap tunggu0 detik...
Gulir ke bawah dan klik Buka Tautan untuk tujuan
Selamat! Tautan Dihasilkan


Hari ini aku lagi banyak menjelajah internet, membaca profil para perempuan penjaga lingkungan. Ada Wangari Maathai di Kenya, Mama Yosepha Alemong di Papua, Mama Aleta Baun di Molo, NTT, dan banyak lagi.

Lalu, teringat ku pada sosok Mak Eroh, perempuan perkasa yang membelah gunung batu, di lereng Gunung Galunggung, tahun 1984. Dulu, di Majalah Tempo, senior kami, Mbak Isma Sawitri menulis profil Mak Eroh dengan bagus sekali. Sayang, saya cari-cari arsipnya belum nemu.
Ini catatan saya tentang Mak Eroh, sosok yang sungguh mengesankan ini.
Dialah Mak Eroh dari sebuah desa di lereng Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tahun 1982, Galunggung meletus.
Abu Galunggung yang perkasa menutup area pertanian, rumah, juga sumber-sumber air. Desa-desa di lereng sang gunung kering kerontang.
1984, dua tahun setelah Galunggung meletus. Mak Eroh, ketika itu 48 tahun, tak hendak duduk termenung. Dia bergerak mencari sumber air yang tak tertutup tebal debu vulkanik. “Ada mata air nun di hulu Cilutung,” kata Mak Eroh. Tapi, mata air itu terhalang bukit cadas terjal dan angker. Lima kilometer dari desa. Tak mungkin bisa ditembus. Kawasan angker pula. “Kalau kita mau, kita bisa menerobosnya,” kata Mak Eroh keukeuh, seperti ditulis Tempo, Juni 1988.
Mak Eroh hafal seluk-beluk hutan di lereng Galungung. Suaminya telah bertahun-tahun sakit, tak bisa mencari uang. Adalah Mak Eroh yang keluar-masuk hutan, mencari jamur untuk dijual ke pasar. Badannya liat ditempa alam dan keharusan survival. Turun naik bukit terjal, tak masalah. Dengan gesit dia membawa tali menuju hutan. Berbekal pahat, cangkul, arit, pahat, dan blencong (ganco), Mak Eroh beraksi memahat batu, mencoba membuka aliran air. Crok, crok, crok, crok!
Tak henti dia memukul batu cadas. Crok, crok, crok!
Satu, tiga, tujuh, hari-hari berlalu lambat. Batu cadas begitu kuat. Mak Eroh bergeming. Tak peduli cibiran orang-orang desa, tak sedikit yang menganggapnya gila. 20 linggis, 20 pahat, 20 belincong, 20 martil, telah habis dihempas batu cadas. Semuanya dibeli dengan uangnya sendiri, termasuk dengan menjual anting-anting. Mak Eroh pantang surut. Crok, crok, crok!
Pada hari ke-45, Mak Eroh mencari bantuan. Kerja sudah mulai menunjukkan hasil. Sisanya harus dikeroyok bersama-sama. Dia menghadap Ketua RT, minta agar warga membantunya. Pak RT tetap tak percaya. Mak Eroh diminta membuktikan, bagaimana cara memahat batu.
Mak Eroh menyambut tantangan. Seutas akar pohon arey dia lilitkan di ujung tebing, ujung akar yg satunya dia belitkan ke tubuhnya. Gesit dia bergelantungan. Martil di tangannya dipukul ke tebing setinggi 17 meter. Crok, crok, crok!
Orang-orang melongo. Akhirnya, sembilan lelaki ditugaskan membantu Mak Eroh. Enam orang di antaranya keok tak sanggup meneruskan pekerjaan.
Perlahan, batu padas terbuka. Saluran air terbuka, lebar satu meter dg kedalaman 0,25 meter, meliuk mengitari 8 bukit menuju desa. Air mengalir deras, menuju rumah-rumah dan 60 hektare area pertanian di pedesaan Galunggung.
Kegigihan Mak Eroh berbuah penghargaan Kalpataru untuknya pada 1988.
Saat Mak Eroh meninggal, di usia 68 tahun pada 2004, masyarakat Jawa Barat membuat upacara khusus untuk menghormati sang pemahat gunung batu demi membawa air bagi penduduk desa.
#copas dari Mardiyah Chamim

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Posting Komentar

Subscribe Youtube

Kanal Media Sosial
Ikuti Kegiatan di Kanal Youtube Ngopireng
Oops!
Sepertinya ada yang salah dengan koneksi internet Anda. Harap sambungkan ke internet dan mulai menjelajah lagi.
AdBlock Detected!
Kami telah mendeteksi bahwa Anda menggunakan plugin pemblokiran iklan di browser Anda.
Pendapatan yang kami peroleh dari iklan digunakan untuk mengelola situs web ini, kami meminta Anda untuk memasukkan situs web kami ke dalam daftar putih di plugin pemblokiran iklan Anda.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.