INDUSTRI film Indonesia baru dimulai lewat berdirinya bioskop atau gedung film. Pada 5 Desember 1900 berdiri bioskop pertama Hindia Belanda di jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta. Bioskop dibuat bertujuan untuk upaya bagi pemerintah Hindia Belanda dalam menciptakan bisnis baru melalui Industri perfilman.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, 26 tahun kemudian, sebuah film bisu pertama diluncurkan pada 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film ini pertama kali dirilis oleh NV Java Company, dan tayang di bioskop dari 31 Desember sampai dengan 6 Januari 1927. Film ini diputar di Bioskop Elita kota Bandung, jalan Braga.
Loetoeng Kasaroeng disutradarai oleh George Krugers yang merupakan orang Indonesia campuran Belanda. Dalam pembuatan filmnya Krugers dibantu oleh orang Belanda bernama Heuveuldorp.
Film ini mengangkat cerita rakyat Sunda, Jawa Barat. Memaparkan perjalanan Sanghyang Gurminda yang berasal dari Khayangan. Ia diturunkan ke bumi dalam wujud seekor lutung. Mengisahkan perjalanan lutung yang tersesat di Bumi, akhirnya film ini mempertemukan sang lutung dengan soorang puteri Purbasari Ayuwangi. Ia juga terusir dari istana oleh Puteri Purbarang akibat perasaan benci.
Lalu Puteri Purbasari dan Lutung Kasarung saling jatuh cinta. Walau Lutung Kasarung seekor mahluk yang buruk rupa, namun ternyata akhirnya Lutung Kasarung menjadi pangeran tampan dan menikahi Puteri Purbasari serta memerintah kerajaan Paris Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama.
Di film ini berisikan nasihat agar kamu jangan memandang sesuatu dari luarnya saja. Pada 1921, film ini pernah diangkat oleh R.A Wiranatakusumah, Bupati Bandung ke dalam gending karesmen, yaitu drama yang diiringi musik. Barulah lima tahun kemudian R.A Wiranatakusumah bersama dengan NV Java film Company mengangkatnya ke dalam sebuah film layar lebar yang berjudul Loetoeng Kasaroeng.
Film berdurasi 60 menit ini masih berbentuk tampilan visual hitam- putih tanpa suara, murni diproduksi di Indonesia yang berlokasi syuting di daerah Padalarang.
Sebagai ajang untuk promosi, pada saat beberapa bulan sebelum pemutaran film, para pemeran dan tim produksi mengadakan pawai keliling kota Bandung dengan menyewa kereta kuda. Selain itu, mereka juga membawa poster film dan selembaran ajakan menonton. Pawai yang bertujuan untuk promosi ini menjadi hiburan tersendiri bari para warga.
Karena kesuksesannya dalam menarik perhatian penonton Indonesia pada saat itu, film ini diproduksi ulang sebanyak dua kali. Pada 1952 disutradarai oleh ET Effendi dengan pemeran Nurhasanah, Barnas Lesmana, Kusmara Suwirja dan Tina Melinda. Lalu pada 1983 disutradarai BZ Kadaryono dengan para pemainnya Erna Santoso, Johan Saimima, Enny Beatrice, Godfriend Sancho, dan Avent Chistie. (jhn)
Sumber : merahputih.com
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT